Bocah Sulamu yang akrab dengan air asin |
Jika ingin ke Sulamu kita bisa juga menggunakan jalur laut dengan menyewa lampara atau ketinting milik nelayan Sulamu melalui Dermaga PPI Oeba. Tapi karena pertimbangan biaya perjalanan menggunakan darat dan laut yang cukup banyak, akhirnya tim memutuskan melalui jalur darat karena biaya yang dikeluarkan pun lebih sedikit dibandingkan menggunakan jalur laut. FYI, biaya bensin mobil cuma Rp. 100ribu, sedangkan jika menggunakan jalur laut kami harus menyewa lampara atau ketinting dengan harga minimal 300ribu tergantung ukuran kapalnya.
Perjalanan menyusuri jalan Timor Raya tidak begitu menarik karena sudah sering dilewati, ketika akan melewati pertigaan ke Pariti/Sulamu/Naikliu jalur jalan utama ditutup karena sedang ada pekerjaan pengaspalan jalan. Disinilah petualangan dimulai, sedikit kekuatiran muncul karena takut akan mengambil salah jalan yang harus melawati hutan. Untungnya sopir kantor kami Om Ako cukup mengenal daerah sekitar wilayah kabupaten Kupang sehingga kekuatiran kami hilang. Ketika memasuki jalan alternatif (jalan darurat) kami diharuskan untuk melewati sebuah sungai (jika di NTT lebih dikenal dengan sebutan kali) karena tidak ada jalur lain. Ketika melewati sungai tersebut debit air yang kecil dikarenakan musim kemarau, dimanfaatkan oleh beberapa penambang pasir yang menggali lubang-lubang untuk mengambil pasir, terlihat juga beberapa truk pengangkut pasir.
Melewati sungai |
Jalan nya sedikit memutar melewati sebuah kampung kecil bernama kampung Oelkuku untuk bisa kembali ke jalan utama Pariti/Sulamu/Naikliu. Orang-orang lebih mengenal jalur alternatif tersebut sebagai jalur ke Peternakan Burung Onta yang sempat dikembangbiakan di sekitar wilayah Camplong kabupaten Kupang. Di kampung kecil ini terlihat banyak warga yang memiliki ternak, sapi, kambing, babi dan ayam yang dilepaskan mencari makan secara liar. Juga terlihat banyak sekali pohon asam yang tumbuh di kiri kanan jalan yang daunnya berwarna hijau muda. Cantik nian warnanya, kontras dengan awan putih biru yang menanunginya.
Setelah menemui jalur utama, perjalanan kembali mulus karena jalan yang sudah diaspal, walaupun ada beberapa lubang kecil. Melewati hutan Bipolo, pepohonan terlihat dikiri kanan jalan. Saya dapat melihat sarang-sarang lebah dengan ukuran cukup besar dan siap dipanen yang bergelantungan di beberapa pohon besar dan keliatan tua. Bunyi hewan hutan yang jarang saya dengar di kota Kupang sayup terdengar. Udara yang segar dan sejuk menemani perjalanan kami menuju Sulamu melewati hutan ini. Memasuki Pariti, terlihat deretan pohon mangga di beberapa rumah penduduk dengan buah yang cukup banyak siap untuk dipanen. Kami temukan baskom-baskom berisi mangga yang sengaja diletakkan di pinggir jalan yang kami lewati agar ada yang tertarik dan membeli.
Setengah perjalanan dari PAriti kami mulai memasuki jalanan aspal yang sudah rusak, dan ada beberapa drum aspal dan tumpukan batu untuk perbaikan jalan. Sukurlah jika pemerintah kabupaten Kupang mulai memperhatikan untuk memperbaiki infrastruktur terutama jalan raya untuk menuju wilayah-wilayah kecamatan di kabupaten Kupang yang wilayahnya cukup luas dan tekstur tanah yang berbukit-bukit.
Melewati jalan yang tidak rata dan berbatu mungkin tidak enak, tapi karena pemandangan yang indah membuat saya tidak merasa terganggu dengan kondisi jalan tersebut. Di kiri jalan mulai terlihat tambak-tambah ikan dan tambak garam tradisional. Pepohonan bakau di pinggir pantai yang tumbuh alami di pinggir pantai bercampur lumpur yang sudah mengering karena air surut. Di kanan nampak perbukitan Sulamu nan eksotis yang mulai menghijau karena memasuki musim penghujan. Dikejauhan mulai nampak pulau Burung, pulau Kera dan ujung pantai Sulamu. Pemandangan indah yang tidak bisa saya lupakan.
Kami juga melewati Kompi Latihan Perang Yonif 744, entah mengapa dipilih lokasi nya disana. Mungkin karena lokasi nya yang di daerah perbukitan terpencil sangat melatih para tentara yang akan maju ke medan perang nantinya.
Melewati pertigaan Sulamu-Naikliu saya bisa melihat sebuah baliho besar seorang pengusaha di kota Kupang yang akan mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Kupang. Mudah-mudahan bukan cuma balihonya saja yang besar ya, tapi kemampuan dan usahanya untuk mensejahterakan kabupaten Kupang juga bisa jutaan kali ukuran balihonya.. :)
Tak terasa kami memasuki perkampungan nelayan Sulamu, bertemu dengan tokoh masyarakat yang sering dipanggil Pak Haji. Perkampungan nelayan ini didominasi oleh orang-orang dari suku Bajo di Sulawesi yang karena hubungan persaudaran dan kawin mawin ikut ke Sulamu untuk menjadi nelayan.
Terlihat Gedung Pengamatan Hilal yang menjadi tujuan utama kami ke Sulamu sudah berdiri 2 lantai dari 3 lantai yang direncanakan, beberapa pekerja bangunan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Gedung ini mulai dibangun sejak bulan awal Oktober. Kendala air tawar dan bahan bangunan yang harus dibawa dari Kupang agak sedikit menghambat kerjaan mereka.
Gedung Pelayanan Hilal |
Penampakan dari Lantai 2 Gedung Pengamatan Hilal |
Setelah berbincang-bincang beberapa saat dengan tukang dan pak Haji. Kami menyempatkan diri untuk mengambil gambar di pantai dan dermaga di Sulamu. Pantai berpasir putih, sangat indah dengan penampakan pulau Tikus di ujung dermaga. Tapi sayang, warga sekitar tidak menjaga keindahan pantai sehingga terlihat banyak sekali sampah di pinggiran pantai.. Sangat disayangkan karena pantai ini sangat indah..
Perahun Nelayan sedang berlabuh |
Pantai Sulamu dengan pasir putihnya |
Mas Arif di ujung dermaga |
K Nora di ujung dermaga |
Lampara yang siap-siap mencari ikan |
Setelah berfoto dan bersenda gurau sebentar dengan beberapa anak nelayan kami melanjutkan perjalanan pulang ke Kupang. Kembali melalui jalur yang sama ketika kami datang dan tidak lupa membeli mangga harum manis di sepanjang jalan, dan juga beberapa tumpuk lagi di Pasar Oesao sebagai oleh-oleh untuk rekan-rekan di kantor.
Sulamu emang kerend
ReplyDeletetq bro...
ReplyDeletebaru nxadar..
ReplyDeletesulamu su pasti keren
ReplyDelete